Jumat, 16 Oktober 2009

Prof. Freddy P. Zen : Profile

Sudah biasa jika seorang fisikawan adalah seorang atheis. Tapi lain halnya dengan Freddy Permana Zen, fisikawan Indonesia ini justru mengaku semakin lama mendalami fisika ia semakin dekat dengan Sang Pencipta.

Aula Universitas Kyoto dipenuhi para Fisikawan. Suasana hening karena Stephen Hawking, sang mahaguru fisika asal Inggris, sedang memberikan ceramah. Hawking menjelaskan bahwa alam semesta terbentuk dengan spontan akibat fluktuasi quantum. Mendengar uraian Hawking semua orang terdiam, tapi tidak dengan Fredy. Ia justru mempertanyakan pendapat Hawking itu dan meminta buktinya, karena menurutnya alam semesta ini ada yang menciptakan. Ternyata Hawking hanya diam, tidak dapat menjawab. “Audiens yang lain sih diam aja, mereka kan nggak peduli dengan agama” ujar pria kelahiran Pangkalpinang, 1 Maret 1961 ini. Freddy memang selalu mengaitkan fisika dengan agama, “agama dan fisika itu tidak bisa dipisahkan sama sekali, kalau dipisahkan pasti keliru” ujarnya.

Suka Fisika Karena Orang Tua
Kecintaan Freddy kepada fisika mulai tumbuh sejak kecil. Ketika itu orangtuanya sering memberikan buku-buku cerita mengenai para tokoh dunia, diantaranya Einstein, fisikawan terkenal dunia, dan BJ. Habibi, yang saat itu mulai terkenal dengan prestasinya dibidang teknologi pesawat terbang. Para tokoh itu membuat Freddy mulai tertarik dengan fisika sehingga di sekolah menjadi pelajaran favoritnya.
Ketika kelas tiga SMA ia dan keluarganya pindah ke Jogjakarta. Di kota ini ketertarikan Freddy kepada dunia fisika semakin menjadi. Setiap pulang sekolah Freddy selalu menyempatkan diri mampir ke toko buku loakan. Buku yang paling sering ia cari adalah buku fisika.
Karena ketertarikannya pada fisika, ketika mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, Freddy memilih tiga jurusan fisika di tiga universitas berbeda, “kalau tidak lulus tiga-tiganya, ya sudah saya nggak kuliah”, ujar anak dari pasangan M. Yusuf Zen dan Sumarsilah ini enteng. Tapi kemudian ia diterima di ITB, impiannya untuk belajar fisika dengan lebih dalampun tercapai.
Menginjak tahun kedua, Freddy memutuskan untuk menikah dengan Rini S. Somad. Setahun kemudian ia dikarunia anak pertama, Andalucya S. Zen. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga ia memberikan les privat. Walau begitu jenjang S.1 dilewatinya dengan lancar hingga lulus pada bulan Oktober 1985, ”Saat itu saya sering menatap wajah anak saya, kehadirannya semakin mendorong saya untuk belajar sungguh-sungguh agar lulus cepat” kenangnya. Ia melanjutkan belajar fisika ke jenjang S.2, masih di ITB dan lulus pada bulan Oktober tiga tahun kemudian dengan tesis Open Bosonic String Theories and the Desceription of the Particles.
Tak lama setelah menyabet gelar S.2-nya, Freddy ditawari beasiswa S.3 ke Jepang. Tanpa pikir panjang ia ambil kesempatan emas itu, dan berangkatlah ia ke negeri matahari terbit itu. Sesampainya di negeri Sakura, Freddy malah ditawari untuk mengambil S.2 lagi. Karena ingin belajar dan melakukan penelitian lebih lama, iapun kembali mengambil S.2 fisika di Hiroshima University.
Ada satu pengalaman menarik keika ia pertama kali bertemu dengan supervisiornya, Prof. Kazuo Fujikawa. Awal bertemu sang profesor tidak begitu yakin dengan kemampuan dan keseriusan Freddy, alasannya karena ia dari Indonesia, muslim pula. “Orang Indonesia memang dipandang sebelah mata dalam ilmu pengetahuan, apalagi fisika teori”, ujar mantan ketua Indonesian Student Association in Japan ini. Di pertemun pertamanya itu sang profesor memberikan tugas kepada Freddy, iapun mengerjakan tugas itu dengan baik, setelah itu barulah sang profesor mempercayai kemampuan dan keseriusan Freddy.
Maret 1991 ayah dua anak ini menyelesaikan S.2-nya, kemudian melanjutkan ke jenjang S.3 di universitas yang sama dan lulus pada bulan Maret tiga tahun kemudian dengan disertasi “Gravitasional Scattering in (2+1)-Dimensional Quantum Gravity”.
Kini Freddy mengabdi di almamaternya, Departemen Fisika ITB sebagai dosen. Disamping itu ia juga sering diundang untuk mengisi pelatihan fisika, baik untuk pelajar maupun untuk pengajar fisika. Dalam pelatihan itu Freddy berusaha menjadikan fisika menarik bagi para pelajar dan para pengajar dapat mengajar fisika dengan metode yang menyenangkan, “selama ini fisika diajarkan terlalu teoritis, padahal fisika itu sangat dekat dengan kehidupan, jadi seharusnya banyak dikaitkan dengan fenomena sehari-hari agar anak didik tertarik mempelajari fisika”, ia menjelaskan panjang lebar. Harapannya fisika menjadi ilmu yang banyak diminati dan mudah dipelajari.
Kepada anak-anaknya ia juga seringkali menggunakan pendekatan fisika dalam mengenalkan Allah. Umpamanya ia menjelaskan mengenai bagaimana pohon tumbuh, sementara manusia hanya menyiramnya, tapi kemudian pohon itu dapat tumbuh dengan bagus, padahal manusia tidak pernah mengatur bentuknya, yang mengatur itu Allah, “Anak-anak justru lebih mudah menerima yang seperti itu” ujar bapak dua anak ini. Yang menarik, walaupun Freddy sangat menggilai fisika tapi dari kedua anaknya, tidak ada satupun yang memilih dunia fisika. Oleh karena itulah ia berpesan pada anak-anaknya agar mereka minimal menyumbang satu orang cucu yang memilih fisika, “Karena saya punya buku-buku fisika banyak, sayang kalau tidak ada yang meneruskan” ujar anak kelima dari sembilan bersaudara ini sambil tersenyum.

Fisikawan Sarat Prestasi
Freddy adalah fisikawan langka di Indonesia. Karena dari sedikit fisikawan yang dimiliki negeri ini tidak semua konsisten menekuni fisika, kebanyakan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Lain halnya dengan Freddy, ia tetap konsisten menggeluti fisika dan melakukan penelitian-penelitian. Tak heran jika kini ia telah menulis seratusan lebih artikel mengenai fisika teori yang dimuat di berbagai jurnal internasional. Menurutnya, dari seluruh artikel yang telah ia tulis, yang paling berkesan adalah artikel pertamanya yang berjudul “University of the Matrix Model Approach to 2-Dimensional Quantum Gravity” yang dimuat di Modern Physics Letters pada tahun 1991. Berkesan karena tulisan ilmiahnya itu adalah tugas pertama dari profesor Fujikawa. Disamping itu penyelesaian artikel itupun lumayan seru. Setelah berkali-kali melakukan percobaan, hasilnya selalu salah. Setelah melalui perenungan barulah ia ingat bahwa ia pernah membuang satu suku kecil. Dan ternyata memang suku kecil itulah yang membuat peneltiannya selalu salah. “Makannya kita jangan meremehkan hal-hal kecil dan harus kerja keras dan do’a”, ujar suami Rini S. Somad ini.
Ia juga telah menulis dua buah buku mengenai fisika teori, “Selected Topics in Theoretical Physics: Two Dimensional Quantum Gravity and Conformal Field Theory” dan “Superstring Theory, D-Brane and Cosmology”.
Karena prestasinya di bidang fisika teori, Freddy telah mendapatkan beberapa penghargaan, diantaranya Satyalancana Wira Karya dari Presiden RI pada tahun 2003, Science Research and Innovation Award dari Universitas Putra Malaysia tahun 2005 dan Habibie Award pada tahun 2006.
Menurut Freddy, semua prestasi yang telah ia raih bukanlah semata hasil kerja kerasnya. Banyak pihak lain yang sangat berperan, diantaranya adalah orang tua dan guru-gurunya, karena menurutnya “tanpa mereka kita tidak bisa apa-apa”. Allah juga sangat berperan bagi Freddy, “karena saya muslim dari awal saya percaya sama Allah” ucapnya dengan tegas.

Makin Tinggi Ilmu Makin Percaya Tuhan
Menurut Freddy, dengan mempelajari fisika lebih dalam ia semakin mempercayai keberadaan Tuhan. Misalnya penemuan chip komputer. “Teknologi itu kan harus benar-benar dengan ukurannya, koma-komanya saja harus persis, sedikit saja berbeda itu sudah nggak jadi dan itu sesuai dengan ayat yang menyatakan bahwa Allah menciptakan dunia ini dengan ukuran dan timbangannya,” Freddy menjelaskan. Disamping itu menurut Freddy, hal-hal rumit di dunia ini tidak mungkin ada dengan sendirinya, ia pasti ada yang menciptakan, dan yang menciptakan itu harus yang Maha Pintar. “Orang yang bikin robot yang menyerupai manusia saja sudah dikagumi. Ini yang menciptakan manusianya sendiri harusnya jauh lebih dikagumi” ia berargumen.
Oleh karena itulah kepada mahasiswanya ia mengarahkan agar dengan mempelajari fisika mereka lebih dekat dengan Tuhannya. “Itu sudah kewajiban saya, justru kalau belajar fisika tidak dikaitkan dengan agama itu salah. Dampaknya orang bisa jadi atheis” Fredyy menjelaskan.
Dalam mempelajari fisika, Freddy mempunyai satu prinsip bahwa kalau penemuan fisika itu bertentangan dengan al-quran, maka itu mesti salah. “Ini saya pegang dari dulu, buktinya sudah banyak” ia berargumen.
Sekalipun Freddy hobi fisika, tapi idolanya bukan Einstein, Hawkings, Newton, atau para fisikawan hebat lainnya, “idola saya nabi Muhammad saw, kalau tokoh fisika semuanya sama saja, mereka manusia biasa, pasti punya salah juga” ujar lelaki murah senyum ini.
Ke depan ia bercita-cita mendirikan sebuah lembaga penelitian di bidang fisika. Tapi ia mengaku hal itu cukup sulit untuk diwujudkan. “Sekarang ini negara juga kurang peduli terhadap ilmu”, Anggota Group Fisikawan Teoritis Indonesia ini beralasan. Padahal menurutnya bangsa Indonesia mampu bersaing dengan bangsa lainnya dalam bidang ilmu pengetahuan, masalahnya hanya tinggal dana. Padahal untuk menjalankan lembaga penelitian fisika yang dicita-citakannya ia ‘hanya’ memerlukan dana sebesar 1,2 Milyar pertahun, “berarti 10 tahun cuma 12 M” ujarnya, “Selama itu mungkin bisa ada yang dapat hadiah nobel” mantan Asisten Deputi di Departemen Riset dan Teknologi ini menjelaskan. (Dwi Budiman/Suara Hidayatullah)

Sumber :http://dwisri.multiply.com/journal/item/2

4 komentar:

Silahkan komentar! Tidak menerima komentar yang bersifat SARA :)